Teman-teman pembaca, berikut saya lanjutkan sharing berikutnya tentang pengalaman saya dalam Ananda’s Neo Zen Reiki.
Komunikasi Non-Fisik: Hidup & Mati – 1
Dua cerita ini sangat luar biasa dan menjadi pengingat bagi diri saya akan kebesaran Hyang Maha Ada. Keduanya terjadi pada tahun 2008 pada masa saya sedang melakoni KKN (Kuliah Kerja Nyata) di daerah Jepara. Keduanya adalah kisah tentang tipisnya garis hidup-mati dan pentingnya filosofi pasrah dalam Ananda’s Neo Zen Reiki.
Kisah yang pertama adalah kisah tentang almarhumah Ibunda dari salah satu teman seangkatan saya di Teknik Kimia Undip 2004. Beliau sudah menderita kanker paru stadium lanjut saat mulai mencoba terapi Ananda’s Neo Zen Reiki. Saya masih ingat pada saat awal memberikan terapi pada beliau saat beliau baru selesai melakukan kemoterapi di RS Karyadi.
Kemoterapi memang bagaikan pedang bermata ganda. Analoginya mirip seperti bom yang dijatuhkan dalam tubuh untuk menghancurkan sel-sel kanker, tetapi pada saat yang sama juga merusak sel-sel yang lain. Itulah yang terjadi pada beliau, sehingga beliau mengalami gangguan metabolisme dan gangguan pencernaan. Saya ingat persis ketika selesai diterapi, beliau bisa buang air besar! Dan muncul keinginan untuk makan! Sungguh saya sangat senang mengetahui hal tersebut.
Singkat cerita, sudah beberapa bulan sejak terakhir kali beliau mendapatkan terapi Ananda’s Neo Zen Reiki. Selain karena beliau tidak dirawat di Semarang, saya pun tidak sempat memberikan secara rutin kepada beliau melalui terapi jarak jauh. Dan, malam itu, teman saya menghubungi saya via telepon. Ia mengabarkan kepada saya bahwa kondisi Ibunda sedang kritis dan memohon saya untuk membantu memberikan terapi jarak jauh.
Mendengar kabar tersebut, saya langsung menyanggupi. Saat itu sekitar sore, bahkan sudah maghrib. Langsung saja saya mempersiapkan diri dengan bermeditasi sejenak dan melanjutkan dengan memberikan terapi Ananda’s Neo Zen Reiki secara jarak jauh.
Semenit, dua menit, beberapa menit terapi dilakukan, dan tiba-tiba saya melihat cahaya walaupun mata saya tertutup. Sejenak itu pula muncul intuisi yang mengatakan bahwa cahaya tersebut adalah cahaya para “penjemput” dan muncul intuisi yang meminta saya untuk merelakan beliau pergi, bahwa kali ini terapinya adalah untuk mengiringi beliau agar dapat pergi dengan tenang.
Saya pun menghentikan terapi dan segera mengangkat telepon, berusaha menelpon teman saya. Tetapi bukan dengan dia, saya ingin berbicara. Saat telepon tersambung, saya meminta untuk berbicara dengan adik perempuan teman saya itu. Sang adik menjawab ke telepon dengan terisak. Saya pun hanya bertanya, “Apakah sudah datang yang menjemput?” dan ia menjawab “Sudah, Mas.”. Kemudian saya pun mengajak mereka untuk berdoa mengiringi kepergian beliau. (Teman-teman pembaca pasti heran, kenapa saya menanyakan hal tersebut pada adiknya, tapi memang dia bisa “melihat” apa yang tidak bisa kita lihat).
Selepas itu, saya pun menyepi sejenak. Teman-teman rekan satu kelompok KKN membiarkan saya sendiri. Dan saat itulah, saya memutuskan melantunkan doa bagi beliau yang sedang akan melanjutkan perjalanannya dari alam ini ke alam lain.
Kabar datang keesokan harinya…. Beliau telah wafat.
Demikianlah, KehendakNya yang terjadi.
Recent Comments