BERTEPUK tangan tiga kali sambil mengucapkan “Hahaha!” kemudian melakukan tos dua tangan dengan orang lain sambil mengucapkan “Ho!”. Begitulah salah satu teknik tawa yang diajarkan Klub Tawa Ceria Sehat (KTCS).

Pada salah satu acara kumpul yang terbuka untuk umum, warga diminta tidak malu untuk melakukan tos dengan siapa saja yang bergabung. Malah mereka diajak untuk terus berkeliling karena setiap tos harus dilakukan dengan berlainan orang. Karena itu, acara kumpul yang dilakukan di Monumen Nasional itu menjadi ramai.

Meski pada awalnya tawa yang diucapkan merupakan paksaan, lama-kelamaan banyak orang tertawa lepas. Entah menertawakan polah diri sendiri ataupun orang lain, atau memang karena tawa dapat menular.

Hal yang terakhir itulah yang diyakini KTCS. Lebih jauh lagi mereka juga percaya menularkan tawa berarti menularkan kebahagiaan karena tawa membuat bahagia.

“Ide dasar kami sangatlah sederhana, jika Anda bahagia, Anda akan tertawa. Nah, kalau kita tertawa, apakah kita akan bahagia? Penelitian mengatakan ya. Maka mari tertawa bersama. Kita akan menjadi lebih bahagia dan otomatis menjadi lebih sehat,” jelas fasilitator KTCS Hariyadi kepada Media Indonesia, Kamis (10/12).

Hingga kini telah lima tahun KTCS menggelar kelas terbuka umum di Monas. Meski belakangan ini kelas tersebut berhenti sementara karena musim hujan, para fasilitator tetap memberikan sesi terapi lewat lembaga profit Pelatihan Neo Self Empowerment (NSE) ke berbagai daerah.

Hariyadi menjelaskan terapi tawa KTCS sebenarnya terinpirasi oleh Yoga Tawa ciptaan Anand Krishna. Adalah Maya Safira Muchtar yang kemudian pertama mengembangkan terapi tawa yang sesuai dengan kebutuhan orang banyak di Indonesia dan menyebarkannya lewat KTCS.

Contoh lain teknik tawa hasil pengembangan KTCS/NSE ialah tawa mengomel. Teknik memancing tawa dengan mimik mengomel tanpa bersuara ini kerap diberikan di acara perusahaan. Teknik itu dianggap dekat dengan suasana kerja sehari-hari yang umum dengan selisih paham antarrekan kerja.

Meski terkesan sederhana, terapi tawa juga memiliki metode penerapan tertentu. Hariyadi yang juga fasilitator NSE menjelaskan umumnya terapi tawa berlangsung 30 menit-60 menit yang sudah mencakup pemanasan, tawa, dan relaksasi. “Kegiatan ini intensitasnya cukup tinggi sehingga manfaat optimal akan terasa bila waktunya dibatasi seperti itu,” tambah pria 29 tahun itu.

Bagi KTCS, tertawa juga selayaknya berolahraga. Mereka bahkan menyatakan 1 menit terapi tawa sama dengan 20 menit olahraga ringan. Karena itu, penting bagi peserta untuk menjaga kenyamanan diri dan tidak memaksakan diri.

Terlebih, meski awalnya dipaksa, KTCS menyatakan setelah 2 menit, orang justru bisa sulit berhenti tertawa. Hariyadi menjelaskan kondisi itu terjadi karena setelah 2 menit tertawa, otak akan berpikir kita sedang bahagia. Otak tidak lagi membedakan apakah tawa tersebut karena spontan atau disengaja. Dengan begini, kita makin nyaman tertawa dan sulit berhenti.

Hubungan antara tawa dan mood dengan kesehatan telah lama diteliti di luar negeri. Penelitian yang dilakukan Sekolah Medis Universitas Maryland menyimpulkan tawa tidak saja mencerahkan suasana hati, tetapi juga melindungi jantung. Ini terjadi karena tawa memperbaiki sirkulasi dan aliran darah. Efek itu serupa dengan yang didapat saat berolahraga.

Plus minus
Namun, bagi Anton Subagyo, terapi tawa lebih terasa manfaatnya untuk pergaulan sosial. Pria yang tinggal di Solo, Jawa Tengah, itu baru pertama mengikuti terapi tawa yang diberikan NSE pada Jumat (4/12).

“Kalau saya merasa manfaatnya lebih untuk mencairkan suasana ketika bertemu dengan orang-orang baru. Orang jadi tidak jaim,” katanya. Selain itu, ia juga melihat terapi tawa bisa menjadi jalan untuk meluapkan emosi, baik kebahagian maupun kekesalan.

Di sisi lain, Anton merasakan teknik tertawa dengan suara cukup keras itu cukup melelahkan. Ia pun masih merasa masih sulit untuk tertawa dengan lepas selayaknya tertawa spontan pada sesi tersebut.

Terkait itu, Hariyadi pun tidak menampik banyak orang yang menilai tawa dalam terapi itu tetap tidak terasa sama dengan tawa kala spontan. Pasalnya, memang begitulah kenyataannya.

Namun tidak pula berarti terapi tersebut gagal menularkan kebahagiaan atau mengingatkan orang pada kebahagiaan yang sebenarnya ada di setiap kehidupan. Hal itu ditekankan lewat proses relaksasi.

“Jadi, selain tawa itu sendiri, yang penting ialah relaksasi sesudahnya. Kalau hanya tawa, itu hanya hura-hura, tetapi dengan relaksasi, kita akan berbicara dengan tubuh dan menyadari kebahagiaan yang kita punya,” tandasnya. (M-4)

Sumber dari sini