Sebenarnya ini tulisan pertama saya yang direncanakan untuk website ini (setelah bergulat dengan penundaan berulang-ulang dengan alasan yang klasik: saya sibuk, saya banyak kerjaan, saya tidak enak badan – sepertinya kapan-kapan itu bisa menjadi tema tulisan). Tapi karena lupa di-upload oleh admin, akhirnya harus saya upload sendiri. hehehe.
“Hidup adalah pilihan”. Saya lupa siapa yang mengajarkan kalimat ini pada saya. Saking seringnya didengar, sepertinya itu sering saya ulang-ulang di berbagai kesempatan, kadang malah tanpa memikirkan esensinya lagi.
Hidup adalah pilihan.
Benarkah itu? Kalau kita terjemahkan ke bahasa inggris, maka menjadi “Life is choice”. Hmm, tidakkah terdengar aneh di telinga? Sepertinya ada yang aneh dan perlu agak diubah sedikit. Bila hidup adalah pilihan, maka kita cuma bisa memilih satu kali.
Hidup terdiri dari berbagai pilihan
Atau mungkin menjadi “hidup adalah konsekuensi dari pilihan-pilihan yang kita ambil”. Menurut hemat saya, jauh lebih masuk akal bila kedua kalimat ini yang dipakai. Mohon koreksi jika saya salah, tetapi kalimat “Hidup adalah pilihan” sepertinya lahir demi memuaskan kita akan kalimat slogan yang pendek dan gampang diingat. Menurut saya, sepertinya makna yang hendak ditunjukkan adalah “hidup terdiri dari berbagai pilihan” atau “hidup adalah konsekuensi dari pilihan-pilihan yang kita ambil”.
Memilih
Adalah hak kita sebagai makhluk hidup, sebagai manusia, hewan berkaki dua yang konon lebih cerdas dari hewan lainnya (bahkan lebih kejam pula). Disadari atau tidak, pilihan kita menentukan kualitas hidup kita. Apa yang kita pilih saat ini, menentukan apa yang kita alami di masa depan.
Tidak mau memilih?
Itupun suatu pilihan. Saya memilih untuk tidak memilih, atau dalam bahasa politiknya adalah abstain atau golput. Apakah lantas bila memilih untuk tidak memilih, maka kita terbebaskan dari konsekuensi pilihan? Ternyata tidak juga kan?
Pilih yang mana?
Adalah bukti bahwa intelejensia kita mulai berkembang, sekaligus tanda kebimbangan kita (atau kebodohan kita?) Contohnya adalah pertanyaan “pilih yang mana?” nyaris tidak pernah kita tanyakan saat kita disodorin menu makanan. Sebagian besar dari kita akan langsung memilih menu tertentu tanpa pikir panjang, entah pilihan itu didasari pertimbangan kesehatan atau kelezatan. Sebagian besar dari kita akan memilih untuk tidur lagi setelah alarm berbunyi di pagi hari tanpa pikir panjang.
Tetapi ketika dihadapkan pada pilihan yang rada berat sedikit seperti pekerjaan yang banyak uang atau pekerjaan yang membahagiakan, tiba-tiba kita bingung. Ketika dihadapkan pada pilihan kepentingan kemanusiaan atau kepentingan uang, tiba-tiba kita bingung. Padahal jawabannya secara normatif, sudah kita ketahui (apalagi bagi kita yang pernah mendapatkan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila alias PMP, sudah otomatis kita tahu jawabannya).
Memilih teman dan pacar, lain lagi ceritanya. Secara rasio dan hati nurani, kita tahu pergaulan kita kadang ga beres, tapi ya it’s okay-okay saja tuh. Tetap saja bergaul ga bener atau memilih yang tidak tepat. Kata temen saya, “sabun mandi aja kita pilih yang sesuai selera dan kebutuhan, masa kita ga bisa milih temen yang tepat???”
Ok, bagaimana memilih?
Baiklah, mari kita belajar memilih! Saya juga masih belajar nih! Saya percaya bahwa untuk memilih dengan tepat, tentunya diperlukan kacamata analisa yang super! In my humble opinion, untuk memiliki kacamata analisa yang super, tentu saja kita butuh input data yang benar serta kejernihan dalam menganalisa. Input data? Rasanya Mbah Google bisa diandalkan untuk urusan yang satu ini. Saran saya tentang input data adalah sikap open-minded, apresiatif tapi tidak gampang percaya juga.
Kejernihan dalam menganalisa, nah inilah kuncinya yang gampang-gampang-susah. Tahu cara mengasahnya? Dari pengalaman pribadi, saya merasa jawabannya tiada lain adalah meditasi, berdoa, muraqabah, hening, suwung. Ini jawaban yang sangat-sangat subjektif, tapi inilah yang saya alami.
Ok, sekian dulu tulisan saya tentang memilih. Semoga sharing ini bermanfaat bagi teman-teman semua.
Recent Comments